Memahami orang lain tidaklah mudah, tetapi ternyata memahami diri
sendiri ternyata jauh lebih sulit lagi. Secara fisik saja, umpama tidak
ada cermin atau semisal itu, maka manusia gagal memahami wajah dirinya
sendiri. Untung Tuhan menciptakan cermin, sehingga manusia dengan sarana
kaca itu, secara fisik bisa melihat dirinya sendiri. Apakah wajah
dirinya tampan, cantik atau sebaliknya bisa dilihat melalui alat itu.
Untuk mengetahui aspek non fisik, misalnya tingkat kecerdasan
seseorang, maka para ahli telah berusaha membuat alat ukurnya. Sekalipun
tidak persis, alat ukur itu telah digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan untuk mengukur keluasan pengetahuan seseorang,
telah dikembangkan berbagai macam test, berupa soal-soal atau
pertanyaan-pertanyaan yang kemudian harus dijawab oleh mereka yang
sedang ditest. Atas dasar jawaban-jawaban itu, maka ditentukan tingkat
keluasan pengetahuannya.
Selain itu juga telah dirumuskan alat
untuk mengukur sikap, bakat, dan perilaku. Sekalipun tidak selalu
didapat kesimpulan secara persis, namun hasilnya bisa digunakan untuk
memahami, --------pada tingkat tertentu, diri atau pribadi seseorang.
Bidang ini biasanya ditekuni oleh orang-orang psikologi. Berdasarkan
pengetahuan yang dikuasai, mereka melakukan pekerjaan professional di
bidang itu.
Apa yang dilakukan, baik oleh guru tatkala membuat
soal ujian ataupun juga para ahli psikologi dalam membuat
instrument-instrumen pengukuran, hanyalah digunakan untuk mengetahui
kemampuan, jiwa atau perilaku orang lain. Istrumen yang dihasilkan itu
bukan untuk mengetahui dirinya sendiri. Siapapun, tidak akan mampu
memahami dirinya sendiri. Oleh karena itu jika ingin mengetahuinya, maka
selalu memerlukan bantuan orang lain.
Manusia melalui
kegiatan riset yang ditopang oleh alat-alat laboratorium yang modern
telah berhasil mengungkap rahasia alam. Apa yang dahulu tidak pernah
terbayangkan, ternyata dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka rahasia alam berhasil dapat diketahui oleh manusia. Namun demikian,
ternyata pengetahuan tentang manusia, -----apalagi tentang dirinya
sendiri, tidak secepat diperoleh sebagaimana ketika memahami alam.
Kegagalan manusia dalam memahami dirinya sendiri selalu menjadi sumber
kegagalan dalam mengembangkan aspek kehidupan yang lebih luas. Seorang
yang merasa hebat, cakap, dikenal luas, artinya tidak tahu akan posisi
dirinya yang sebenarnya, akhirnya mengalami kesalahan dalam mengambil
keputusan. Orang mengatakan di atas langit masih ada langit. Bahkan
dalam kitab suci al Qur’an dikatakan bahwa langit itu berlapis tujuh.
Artinya, harus selalu menyadari bahwa masih ada orang lain yang lebih
hebat di atas dirinya.
Sebatas untuk mengetahui tentang diri
sendiri, ternyata memang tidak mudah bagi siapapun. Untuk mengetahui
diri seseorang selalu memerlukan bantuan orang lain. Namun orang lain
pun tidak mudah memberitahukannya. Seringkali orang menjadi tersinggung,
atau bahkan menjadi sakit hati, dan marah jika ditunjukkan atas
kesalahan dan kekurangannya. Manusia pada umumnya, lebih suka
ditunjukkan kebaikan dan kelebihan tentang dirinya, dan sebaliknya,
tidak menyukai jika orang lain menyebut kekurangan dan kelemahannya.
Al Qur’an dan hadits nabi memberikan informasi banyak tentang siapa
manusia ini. Jika kita membaca surat al Baqoroh misalnya, Allah swt.,
sejak di awal surat itu menjelaskan tentang watak, karakter dan perilaku
manusia. Setidaknya ada tiga kategori manusia, keduanya berada pada
posisi jelas, yaitu orang yang disebut sebagai orang-orang muttaqien dan
orang-orang kafirien. Tetapi ternyata ada satu kelompok lagi lainnya
yang tidak jelas, yaitu kaum munafiqien, yakni orang-orang yang selalu
menampakkan diri pada posisi tidak jelas.
Setelah membaca
surat al Baqoroh berulang-ulang, lalu merenung-renungkan kembali dan
kemudian melihat berbagai kenyataan dalam kehidupan ini, ternyata memang
tidak mudah manusia dipahami. Maka pantaslah jika di awal surat itu
pula, dikisahkan bahwa Malaikat melakukan semacam protes, tatkala Allah
swt., akan menciptakan makhluk yang diebut manusia ini.
Karena
keterbatasannya itu, manusia selalu memiliki sifat salah dan lupa.
Mereka mengejar-ngejar kemajuan, ternyata justru kemunduran yang
didapat. Banyak orang mengejar kekayaan dan juga kekuasaan, namun harta
dan kekayaannya yang didapat itu justru mencelakan dirinya. Seseorang
dianggap teman, ternyata justru berperan sebagai musuh. Petugas
memberantas korupsi, ternyata justru melakukan penyimpangan lebih besar
lagi. Hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam kehidupan, karena manusia
seringkali tampak dalam wajah yang tidak sebenarnya.
Akibatnya
banyak orang keliru, tatkala melihat kehidupan orang lain dan bahkan
juga suatu bangsa. Kemajuan orang lain dan juga suatu bangsa hanya
dilihat dan diukur melalui ukuran-ukuran yang sederhana, misalnya dari
jumlah kekayaan yang didapat, kekuatan militer, dan teknologinya.
Padahal belum tentu kekuatan itu memberikan manfataan, tidak terkecuali
bagi dirinya sendiri.
Islam, agama yang dibawa oleh Muhammad
saw., memiliki ukuran sendiri dalam menentukan keberhasilan hidup
seseorang dan bahkan juga keberhasilan suatu bangsa. Ukuran itu ialah
berupa keimanan, amal sholeh, akhlak dan atau ketaqwaannya. Tolok ukur
ini jauh lebih mulia, tidak sebatas perolehan yang hanya berupa benda
fisik, melainkan sesuatu yang benar-benar menyelamatkan dan
membahagiakan manusia dan bahkan semua makhluk dan jagad raya ini.